Tahun ini, di MA, gue megang jabatan sebagai redaktur desk Klinik.
Ups, jangan karena mentang-mentang gue sekarang jadi redaktur, kerja gue lebih ringan dari reporter. Malah sebaliknya! Gue harus ngedit lima artikel setiap edisi (MA Klinik, Konsultasi, Tips dan Trik, MA Info, Asuhan Keperawatan). Ngedit aja udah nggak gampang, belom lagi follow-up reporter, ngasih nilai artikel, ngumpulin bank naskah, ngumpulin database narasumber, dan macem-macem lagi.
Tapi tenang, gue kali ini nggak mau ngeluh soal kerjaan gue itu. Malah sebaliknya.
Gue pengen cerita gimana gue bisa jadi redaktur desk klinik.
*
*
*
Sebelum masuk ke cerita utama, biarin gue jelasin dulu. Di MA ada lima desk, antara lain desk Headline, Klinik, Opini-Humaniora (Ophum), Ilmiah Populer (Ilpop) dan Liputan. Desk Headline ngurusin artikel-artikel di halaman terdepan MA, desk Klinik ngurusin artikel-artikel yang berkaitan dengan dunia klinik (tata laksana, diagnosis, pencegahan penyakit, dsb), desk Ophum ngurusin artikel-artikel opini dan humaniora (ya iyalah, you don't say?), desk Ilpop ngurusin artikel-artikel yang bobotnya ilmiah banget (ada artikel profil obat, profil alat kesehatan, intisari jurnal, dsb), dan desk Liputan ngurusin artikel-artikel yang harus diliput (liputan seminar, liputan institusi kesehatan, dsb).
Selama gue masih jadi reporter junior, gue selalu membayangkan diri gue jadi redaktur liputan. Entah kenapa. Mungkin karena pas gue masih PPAB (program penapisan anggota baru a.k.a calon anggota), gue ditugasin ngeliput, and I really enjoy it. Meski pas jadi reporter junior gue sedikit kurang beruntung dalam ngedapetin seminar buat diliput, gue masih cinta sama liputan, dan gue pengen berbagi kebahagiaan gue dalam meliput itu ke orang lain.
Gue usahain segala hal supaya jabatan itu bisa jatoh ke tangan gue. Setiap orang yang gue temui selalu gue cekokin dengan keinginan gue itu, redaktur liputan, redaktur liputan, redaktur liputan. Waktu gue diwawancara PSDM, gue bilang tahun kedua nanti gue mau jadi redaktur liputan. Gue selalu berusaha sesemangat mungkin kalo lagi dapet rotasi di desk liputan. Gue jadi redaktur desk liputan Korpus (Koran Kampus) dengan harapan semoga para redaktur di MA bisa melihat bahwa gue cukup kompeten dalam mencari info acara atau seminar.
Sampe akhirnya tiba saatnya Rapat Tahunan Anggota (RTA).
Di RTA, kita bakal milih petinggi-petinggi MA yang baru (dalam hal ini, pemimpin umum, pemimpin redaksi, pemimpin direksi, dan pemimpin produksi). Tiga senior gue, Kak Dewi, Kak Fadhlan, dan Kak Johan maju mencalonkan diri jadi pemred.
Setiap kali salah satu dari mereka selesai presentasi, Kak Liwang (pemred lama) bakal nanyain siapa aja yang bakal mereka plot sebagai redaktur. Dan gue kaget setengah mati karena Kak Dewi dan Kak Fadhlan sama-sama pengen nunjuk gue jadi redaktur desk HEADLINE. Padahal, itu desk yang sangat sangat gue hindari, dan gue paling gak suka kalo ditempatin di situ. Syukurnya, Kak Johan baik sama gue dan nge-plot gue sebagai redaktur liputan.
Belakangan, Kak Johan yang kepilih jadi pemred, dan gue pun melonjak seneng. Gue bisa jadi redaktur liputan! Gue ngedapetin impian gue! Saat itu juga rasanya gue pengen nangis bahagia.
Tapi ternyata, Kak Johan punya pertimbangan lain setelah jadi pemred. Setelah diskusi sama Kak Liwang, gue dan Vrina (temen sesama reporter yang tadinya di-plot Kak Johan jadi redaktur desk klinik) pun dipanggil. Kak Johan ngejelasin, kalo dia sebenernya pengen ngejadiin Vrina redaktur liputan soalnya Vrina anggota BEM dan CIMSA yang pasti punya banyak akses ke berbagai acara dan seminar, tapi takut kalo dia ngejadiin Vrina redaktur liputan, Vrina bakal terlalu sibuk (dulu, desk liputan ada 8 artikel!!). Setelah bicara sama Kak Liwang, diputusin bakal ada pergantian grand design SKMA, dan artikel liputan bakal dipotong jadi ada 6 aja. Dan Kak Johan minta gue dan Vrina buat tuker peran, karena dia ngeliat gue lebih bagus di desk klinik. Dengan besar hati, gue pun bilang ya. Jadilah gue redaktur klinik.
Hari-hari berlalu. Gue sukses ngedit desk klinik edisi Maret-April. Meski ada satu artikel yang sedikit bermasalah, gue berhasil melalui semua itu dengan lumayan baik, makasih buat para reporter yang cukup kooperatif dan Kak Johan yang senantiasa mendukung gue. Masalah yang sama gue temui di edisi Mei-Juni, tapi setelah curhat mati-matian sama Kak Johan dan berdoa supaya gue nggak menzalimi orang, gue sukses juga ngedit semuanya.
Dan saat gue duduk di depan komputer, pikiran gue dipenuhi kecemasan karena keputusan gue kali itu bisa menyakiti banyak pihak tapi serius, gue nggak bisa menyalahi idealisme gue sendiri, dan gue harus melakukan yang terbaik demi desk klinik, desk gue, gue pun sadar....gue jatuh cinta sama desk klinik.
Setelah gue pikir-pikir, what's there not to love dari desk Klinik? Gue cuma punya lima artikel buat diedit. Gue gak perlu susah-susah main bahasa (meskipun nyari judul buat desk klinik bikin gue harus ngubek-ngubek thesaurus berjam-jam!!!). Gue bisa belajar banyak hal dari ngebaca artikel-artikel tulisan reporter. Dan yang paling asyik...nggak susah ngumpulin bank naskahnya. Nyari kontributor juga gampang. Satu-satunya yang gue sebelin adalah lead dan judulnya yang monoton, hehehe.
Dan sekarang, saat Kak Johan mutusin buat ngadain rotasi redaktur dan gue ditempatin di Desk Ophum, gue nangis....karena hati gue udah belongs to desk Klinik.
Bahkan gue gak akan keberatan kalo taun depan jadi redaktur lagi, hehehe.
Buat para reporter, tetep semangat yah! Terutama buat *piiip* yang pernah gue cecer seminggu penuh buat nulis ulang artikelnya, buat *piiiiiiiippp* yang selalu gue puji setiap kali rotasi di desk klinik, juga buat *pipip* yang pernah bikin gue nangis bahagia karena judulnya yang sangat kreatif (oke, yang terakhir ini bukan reporter, tapi whatever). I love you all, and I love Desk Klinik very very much!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar