"Ta, kamu yang jadi ketua PDJ ya?"
Tujuh kata, dua puluh lima karakter itu tertera di layar Blackberry saya. BBM dari seorang senior angkatan 2007 yang saat itu baru terpilih menjadi Pemimpin Umum Media Aesculapius.
Dan jujur saja, bbm itu cukup membuat saya syok.
Otomatis tangan saya tergerak untuk mengetik.
"Lho, bukannya ketua PDJ-nya Aldo, kak?"
Tak lama kemudian datang jawaban,
"Aldo udah jadi ketua Jastificating. Soalnya udah tradisi, yang jadi ketua Jasti itu anak MA-LPP."
Saya tepekur membacanya. Otak saya pun berputar, mencari-cari alasan untuk keluar dari tanggung jawab ini. Aha. Ada satu alasan bagus.
"Saya di FSI udah jadi Kadept Medikasi, kak. Saya takut sibuk."
"Nggak apa-apa, Ta. Ntar dibantu kok."
Glek.
"Kan ada Ook kak? Kenapa nggak dia aja PJ-nya?"
Catatan: Ook itu teman saya sesama angtap MA, yang statusnya "nyaris" tidak diterima dan Kak Sonia, senior saya yang dengan baik hatinya mem-bbm saya itu, punya perjanjian sama dia, kalo mau jadi angtap, dia bersedia jadi PJ apa aja. Dan saya dengan baik hatinya juga mengingat perjanjian itu dan berusaha memanfaatkannya.
"Ook udah pegang banyak jabatan di Produksi."
Matilah saya. Saya tidak tahu jabatan apa yang dipegang Ook di produksi, tapi saya bukanlah tipe yang akan melimpahkan tugas pada orang yang sibuk.
"Tapi kak, kalo saya jadi PJ, saya takut gabut."
Oke. Saya plin-plan ya? Tadi takut sibuk, sekarang takut gabut.
"Nggak akan kok, Ta. Kita semua bakal bantu kok, beneran."
Pikiran saya saat itu langsung mendaftar nama teman-teman saya yang tergabung dalam PDJ (Pelatihan Dasar Jurnalistik).
Aldo, yang seharusnya jadi ketua PDJ dan bukan saya, mengundurkan diri karena ternyata harus jadi ketua Jastificating.
Ook, katanya sih pegang jabatan penting di produksi. Belakangan saya tahu, sebenernya dia "cuma" jadi PJ Hakrab Produksi.
Ovi? Masalahnya, dia teman dekat saya dan saya tahu dia takkan pernah memaafkan saya kalau saya "menjerumuskan"nya untuk jadi ketua PDJ. Lagipula, dalam pikiran saya, dia sudah cukup sibuk sebagai pemimpin redaksi Korpus (Koran Kampus).
Maria? Entah kenapa, saya tidak tega membebankan tanggung jawab seberat ini padanya.
"Ya udah deh, kak. Saya mau."
"Makasih ya, Ta. Oh iya, besok pas hakrab umum, siapin yah rencana kamu, apa yang mau dilakuin buat PDJ, tema, PJ, blablabla...."
Damn.
"Tapi kak, saya lagi nggak di rumah. Saya bakal keluar sampe malem."
"Nggak apa-apa. Garis besarnya aja Ta."
Oke.
Fix, saya jadi ketua PDJ.
Dan sepanjang sisa malam itu, saya marah-marah ke Aldo yang sudah menjerumuskan saya sebagai ketua PDJ.
Kenapa saya sangat berkeberatan dengan penunjukan saya itu?
Pertama, pengalaman saya sebagai PJ sangatlah minim. Satu-satunya pengalaman saya mengetuai sebuah acara adalah acara Nonton Bareng Liga Champions BFM, yang merupakan sebuah acara kecil, dan itupun tak bisa saya lakukan dengan baik. Dan PDJ ini adalah salah satu acara terbesar MA, dan berskala nasional. Jika saya gagal melaksanakannya, bukan hanya nama saya yang akan tercoreng, melainkan juga nama MA.
Kedua, saya bahkan tak bisa mengorganisir diri saya sendiri, dan saya diharapkan mampu mengorganisir orang lain?
Tapi di sisi lain, saya menyadari satu hal.
Dengan terpilihnya saya sebagai PJ, artinya saya dipercaya sebagai orang yang mampu melaksanakan suatu acara besar. Kak Sonia tahu saya bisa dan akan melaksanakannya, meski saya sendiri tak terlalu yakin. Dan teman-teman saya, adik-adik saya, semua akan bergantung pada saya, menanti pertanggungjawaban saya kepada mereka.
Sampai berminggu-minggu setelah saya terpilih, saya merasa takut. Takut bertindak, takut jika saya melakukan kesalahan sejak awal dan itu mengesalkan teman-teman saya. Namun akhirnya, Kak Sonia mendesak saya untuk segera memulai pelaksanaan dan saya pun melakukannya.
Dan setelah rapat perdana....saya memang masih ketakutan, tapi saya merasa sedikit lebih yakin.
Teman-teman saya mempercayai saya. Mereka akan bekerja di bawah petunjuk saya. Mereka akan memberikan perhatian kepada saya. Karena PDJ ini bukanlah hanya acara saya pribadi, melainkan juga acara mereka.
Jadi apakah saya menyesal jadi ketua?
Tidak.
Saya bisa dengan bangga mengatakan bahwa saya Ketua PDJ.
Seperti beberapa hari lalu, saat saya sedang berada di ruang MA dan mengobrol dengan Kak Cindya, salah satu senior saya yang entah mengapa senang sekali mengganggu saya.
"Sekarang ketua PDJ siapa sih?" tanya kak Cindya.
Saya tersenyum, mengalihkan perhatian dari kertas oprec PDJ yang baru saya tempelkan di papan pengumuman MA, dan mengangkat tangan.
"Saya, kak."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar