Sabtu, 01 Oktober 2011

obrolan dalam taksi mengenai calon suami idaman (dan sedikit pengakuan mengenai cowok yang saya suka)

Okay, I know the title of this post is kinda weird, tapi ini benar-benar obrolan saya dan teman-teman saya saat kami sedang berada dalam taksi, dalam perjalanan menuju Plaza Indonesia hari Jumat, 30 September lalu buat hedon pasca ujian.

Saat itu, sedang masanya mahasiswa baru (maba) menjalani masa bimbingan (mabim), di mana salah satu tugasnya adalah mewawancarai senior. Dan saya kebetulan baru diwawancara hari sebelumnya, sehingga saya sedikit bercerita mengenai hal-hal yang mereka tanyakan pada saya.

"Masa gue ditanyain siapa senior favorit gue," saya bercerita sambil sedikit tertawa. "Dan maba bilang, kebanyakan senior cewek jawabnya Kak Fakhri."

Catatan: Kak Fakhri itu senior saya, angkatan 2007, yang pernah jadi ketua senat. Dan memang beliau itu termasuk laki-laki idola di kampus saya, karena memang tampangnya yang....ehm, di atas rata-rata, dan macam-macam lagi.

Teman-teman saya tertawa dan mengatakan hal itu wajar. Lalu obrolan kami pun berkembang menjadi senior favorit kami. Saya bilang bahwa saya suka Kak Sonia (pemimpin umum MA) dan Kak Kazai (redaktur liputan MA dan mahasiswa berprestasi FKUI). Ovi bilang dia lebih mengidolakan Kak Olga (mantan pemimpin redaksi MA). Sedangkan Nessa bilang dia suka Kak Adi, mantan ketua senat sebelum Kak Fakhri. Dan ketika mengatakan itu, Nessa menambahkan sesuatu yang membuat saya sedikit tergelitik, "Kak Adi itu tipe cowok yang nggak ada cewek yang nggak mau jadi istrinya!"

Agak ribet, I know, tapi intinya gitu deh, Kak Adi itu calon suami idaman. Ucapan Nessa itu pun mengarahkan kami pada topik lain lagi, yaitu tentang cowok mana di angkatan kami yang cocok jadi suami idaman.

"Kalo di angkatan kita, kebanyakan cewek pasti maunya Dimas jadi suami mereka," kata Nessa. "Waktu gue ngobrol sama Meller dan Nae di kost-an aja, mereka bilang gue golongan minoritas karena gue bilang nggak mau sama Dimas...."

"Haha, gue tau sih kalo itu," saya tertawa. "Tapi gue nggak terlalu kenal Dimas...."

Dimas itu teman seangkatan saya, dan memang saya tidak terlalu kenal dengannya. Maksudnya, saya tahu dia, dan dia ketua Liga Medika tahun depan, tapi kami tidak terlalu dekat satu sama lain. Mungkin itu yang menyebabkan saya tidak terlalu memperhatikannya.

"**** oke sih," kata Ovi (maaf, nama terpaksa disamarkan demi kesejahteraan identitas. Biarkan saya dan penghuni taksi itu saja yang tahu). "Tapi aku nggak mau jadi istrinya."

"Aku mau," saya menyahut seketika.

Teman-teman langsung menatap saya. "Ya ampun, Ta, ternyata diem-diem...."

Saya nyengir aja. Tapi harus saya akui, saya memang ada rasa dengan oknum **** itu. Saya juga tidak terlalu dekat dengannya secara personal, tapi saya mengikuti satu badan yang sama dengannya dan kami juga pernah bersama dalam satu kepanitiaan (tidak dalam sie yang sama, tapi kami sama-sama PJ). Dia memang punya tampang yang....yaah, cukup di atas rata-rata, rajin (dia tipe yang bawa-bawa tentir ke mana-mana), aktif dalam kegiatan kampus (dia saat ini menjabat ketua panitia suatu acara besar), dan yang saya suka....dia tipe yang rela berkorban demi orang lain.

Ah, tak tahulah. Saat ini saya sendiri sedang bingung dengan perasaan saya. Saya juga masih ada rasa pada mantan saya yang saat ini nun jauh di sana, dan saya juga tertarik pada satu cowok angkatan saya yang entah mengapa, sering sekali membuat saya surprised.

Yah, mungkin memang belum saatnya saya menemukan yang baik bagi saya.

Saya pun berbalik dan kembali mengobrol dengan teman-teman saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar