Minggu, 21 Oktober 2012

sebuah catatan dari IGD

Jumat malam lalu, untuk pertama kalinya, saya menjalankan tugas jaga di IGD suatu rumah sakit yang merupakan pusat rujukan nasional. Memang hanya sampai jam 10 malam, tapi jaga tetap jaga.

Saya tidak sendirian. Ada Jacky, rekan jaga malam saya dari stase yang sama, Nuril dan Yolan yang sedang menjalani stase neurologi, Kak Alvin yang sedang menjalani stase IPD, dan empat orang koas bedah yang saya tidak hafal namanya.

Entah mengapa (mungkin karena kekuatan pemanggil pasien saya?) malam itu IGD sangat penuh. Begitu saya menginjakkan kaki ke dalam, Yolan dan Nuril langsung memanggil saya untuk membantu memasang EKG ke dua pasien. Sejujurnya, saya sudah terlalu terbiasa memasang EKG sampai saya sering mengeluh ke teman saya, seandainya di logbook saya diminta memasang EKG sepuluh kali pun pasti bisa saya jalankan. Dan setelah berjuang dengan balon EKG yang terus-menerus lepas, kabel-kabel yang berbelit, dan kertas EKG yang mendadak habis sehingga saya terpaksa "meminjam" kertas EKG dari ruang resusitasi, kami menyelesaikan tugas tersebut.

Setelah sukses memasang EKG, Yolan dan Nuril kembali meneruskan tugas mereka memeriksa TNSP (tensi, nadi, suhu, pernapasan) semua pasien IGD, sementara saya menemui Jacky, yang malam itu memilih bekerja di ruang triase, membantu dua residen di situ memeriksa pasien. Sebetulnya tidak terlalu sulit. Yang perlu kami lakukan hanya menempelkan tensimeter elektronik di lengan pasien, kemudian memasang pulse oximeter di jarinya dan melaporkan hasilnya agar dicatat residen. Sesekali, kami diminta mengambil darah dan mengirimkannya ke laboratorium. Sejauh ini, tidak ada masalah apa-apa.

Tahu-tahu, di tengah kesibukan kami, datang seorang pasien, ibu-ibu sudah agak tua, ditemani beberapa anggota keluarganya. Ibu-ibu ini tampak sangat kesakitan dan memegangi perutnya sembari duduk agak membungkuk. Saya dan Jacky pun melakukan ritual kami menensi dan mengecek saturasi oksigen pasien, sementara dr. Mara, residen jaga, menanyakan kepada keluarga pasien ada keluhan apa.

Seorang anggota keluarga pasien, mungkin anaknya, menyodorkan sepucuk amplop kepada dr. Mara. Ternyata, di dalam amplop itu terdapat surat rujukan dari sebuah rumah sakit di Lombok. Ya, dari Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Saya pun bertanya kepada anak pasien tersebut, apa yang dikeluhkan pasien. Ia langsung bercerita, bahwa ibunya didiagnosis menderita "kiste" (mungkin maksudnya kista?) di abdomen, dan di daerah asalnya belum ada akomodasi yang memadai untuk menyembuhkannya, karena itu dirujuk kemari. Anak pasien mengakhiri penuturannya dengan mengatakan, "Saya jauh-jauh dari Nusa Tenggara Barat ke sini supaya ibu saya bisa berobat, Dok."

Deg.

Dari tempat sejauh itu? Untuk mengobati kista abdomen?

Saya merasa terhenyak karena tahu sekali kondisi IGD saat itu. Tidak berlebihan jika saya katakan malam itu pasien bertumpuk-tumpuk. Saya intip ke dalam, yang terlihat hanya barisan tempat tidur pasien yang dijajarkan sangat rapat satu sama lain. Bahkan beberapa pasien terpaksa duduk di kursi roda, saking kurangnya tempat tidur yang tersedia. Sebelum ibu ini datang, saya sudah menyaksikan dengan mata dan telinga saya sendiri bagaimana kami terpaksa menolak seorang pasien yang datang jauh-jauh dari Aceh dengan penyakit jantung, karena alasan klasik: IGD terlalu penuh.

 Sesabar mungkin, dr. Mara pun menjelaskan kondisi IGD rumah sakit ini kepada keluarga pasien. Saya tidak ingat kalimat persisnya, tapi akan saya jabarkan ulang sebisa saya.

"Jadi begini, Pak, Bu. Kami minta maaf, kami bukannya tidak mau menerima pasien ini. Tapi bisa dilihat sendiri, saat ini IGD sedang sangat penuh. Bahkan yang menunggu saja ada belasan," dr. Mara menunjuk ke sekelilingnya, ke arah pasien-pasien yang tengah terdiam menunggu giliran.

"Satu-satunya cara untuk memberi tempat kepada ibu ini adalah kalau ada pasien yang sudah stabil kemudian pulang, atau pasien pindah ke ruang rawat. Tapi ruang rawat juga sedang penuh, jadi terpaksa IGD berfungsi sebagai ruang rawat inap. Kami tidak mungkin mengusir pasien yang kondisinya juga belum stabil.

"Jika mau menunggu, saya persilakan. Tapi harus saya katakan bahwa kami tidak bisa memastikan sampai kapan pasien harus menunggu. Entah empat jam lagi, sampai pagi, atau sampai Minggu. Dan selama menunggu itu, kami tidak akan memberikan penanganan apa-apa. Apalagi pasien ini dirujuk ke bagian Bedah Digestif. Poli Bedah Digestif buka hanya setiap hari kerja, jam tujuh sampai kira-kira jam dua-tiga siang. Di IGD saat ini hanya ada bedah umum.

"Kalau saya boleh menyarankan, sebaiknya ibu ini dibawa ke rumah sakit lain untuk mendapatkan penanganan kegawatan. Baru hari Seninnya dibawa lagi kemari untuk diobati kistanya. Ah, tapi bukan di sini ya, tapi di poli Bedah Digestif," dr. Mara menunjuk keluar, menunjukkan arah poli.

"Sekali lagi kami minta maaf. Sungguh kami tidak bermaksud menolak pasien. Tapi beginilah keadaannya, kami juga tidak bisa berbuat apa-apa."

Keluarga pasien terdiam sejenak sebelum mulai berdiskusi. Tak lama kemudian, mereka menoleh kepada dr. Mara. "Kalau di rumah sakit Islam bisa pakai askes nggak, Dok?"

"Wah, maaf Bu, saya juga kurang tahu," jawab dr. Mara.

Keluarga pasien kembali berdiskusi, tapi tampaknya kali ini mereka sudah mengambil keputusan untuk membawa ibu mereka ke rumah sakit lain, paling tidak untuk mendapatkan penanganan kegawatannya. Sambil mengucapkan terima kasih, mereka pun melangkah keluar IGD, Jacky membantu mendorong kursi roda pasien sementara saya meneruskan memeriksa pasien lain.

Itu hanya sebagian kecil drama yang saya temui saat menjalankan tugas jaga semalam. Miris, tapi nyata. Saya baru sadar, pusat rujukan nasional memang seringkali mendapatkan pasien rujukan dari rumah sakit lain. Tidak hanya dari Jakarta, tetapi juga dari daerah-daerah nun jauh di sana. Dan lebih mirisnya lagi, rumah sakit ini pun kekurangan akomodasi untuk menangani pasien-pasien tersebut.

Mungkin, jika jumlah ruang rawat lebih banyak, maka IGD takkan berfungsi untuk rawat inap. Dengan begitu, IGD pun akan berfungsi sebagaimana mestinya, sebagai instalasi gawat darurat di mana pasien bisa memperoleh penanganan kegawatan dan kemudian langsung pergi, entah ke ruang rawat atau mungkin pulang. Tapi ah, bicara memang mudah. Lagipula, siapa saya? Saya hanya seorang koas, pemegang strata terendah di rumah sakit.

Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ibu itu bersama sekian banyak pasien lain yang jauh-jauh datang kemari takkan mengalami kejadian seperti ini lagi. Semoga mereka dapat memperoleh penanganan kegawatan yang semestinya sehingga dapat kembali ke kondisi kesehatan yang ideal. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar